Kisah Mencari Udang dan Kepiting di NTT
Cerita ini saya ambil dari catatan harian saya selama saya mengajar di
NTT.
Selasa, 10 April 2012.
Setelah seharian beraktivitas di sekolah, sore hari badan terasa sedikit pegal-pegal. Seperti biasanya, sore hari ada beberapa siswa saya yang datang ke kontrakan saya. Saya senang jika mereka mau main ke kontrakan saya. Saya agak merasa bebas di kontrakan tersebut karena saya mengontrak sendiri tanpa ada yang punya rumah, hanya ada beberapa siswa yang menemani saya. Terkadang mereka belajar, sekadar main, atau juga menginap di tempat saya dan ada yang cuma mengajak saya mengobrol.
Topik pembicaraan yang biasa kami perbincangkan paling sering adalah tentang aktivitas di sekolah, terutama cerita-cerita lucu yang terjadi di sekolah. Saya kadang menjadi moderator, agar antar siswa tidak terjadi keributan dan mau menang sendiri. Menurut pengamatan saya, murid saya cenderung memiliki emosi yang tinggi. Namun demikian, kami sering tertawa lepas dengan cerita-cerita yang mereka bawakan dan dengan cara mereka yang masih anak-anak.
Beberapa topik telah kami bahas, kemudian ada seorang siswa namanya Mursalin (siswa kelas 5) mengajukan sebuah ide menarik. Dia berkata ”Pak, bagaimana kalau kita nyari udang dan kepiting di pantai?”, (tempat kontrakan saya memang hanya sekitar 10 meter dari bibir pantai). Kemudian saya jawab ”Emang sekarang lagi pasang naik atau surut?”. Kemudian Ahmad (siswa kelas 6) menjawab ”Kayaknya lagi pasang surut, Pak”. ”Bagaimana ya, badan saya juga lagi capek” (gerutuku dalam hati). ”Ayolah Pak, belum malam juga”, kata Ali (siswa kelas 6). Akhirnya saya memutuskan untuk mencai udang dan kepiting, ”Ya sudah, ayo”.
Segala peralatan kami persiapkan seperti ember, senter, dan sebuah obor yang kami buat dari botol bekas sirup. Agak takut juga pegang obor itu, takut meledak.
Setelah semua peralatan siap, akhirnya kami pergi menuju pantai, kami berempat menjadi satu kelompok. Tak lupa saya juga membawa hp, berharap ada sinyal di sekitar pantai yang surut. Perlu diketahui tempat saya mengajar tidak ada sinyal telepon, listrik juga menyala hanya dari jam 18.00 – 22.00, itu juga pakai genset dan kadang juga sering rusak. Menurut murid-murid saya, di daerah pantai yang surut kadang ada sinyal. Oleh karena itu saya membawa hp.
Hanya butuh waktu sekitar 2 menit, saya sudah sampai di pantai. Sungguh menakjubkan pemandangan waktu itu, banyak nyala obor yang ada di pantai, mereka juga sedang mencari kepiting dan udang. Cahaya dari jutaan bintang juga menambah indahnya suasana malam saat itu.
Tanpa tunggu lama lagi, murid-murid saya langsung aktif mencari udang dan kepiting. Saat itu posisi air laut adalah setinggi mata kaki, katanya posisi seperti itu sedang banyak-banyaknya kepiting dan udang.
Tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara anak kecil ”Pak, nyari ”Use” juga ya?, ku jawab dengan reflek ”Iya”. Perlu diketahui ”Use” adalah nama lain dari udang. Tempat kontrakan saya memang unik, di sana ada 3 suku sekaligus yaitu suku Bima, suku Bugis, dan suku Manggarai. Memang unik sekali, mereka hanya saling berjarak sekitar 50 meter, tetapi sudah ganti suku lain. Tetapi mayoritas adalah suku asli yaitu Manggarai. Bahasa yang saya gunakan pada mereka adalah bahasa Indonesia, terkadang saya juga belajar sedikit bahasa mereka. Sering saya berpikir, bagaimana kalau tidak ada bahasa Indonesia, pasti saya sudah kebingungan. Saya sangat bersyukur mereka sudah bisa bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Sedikit info juga, antar suku di sana sangat rukun dan memiliki rasa toleransi yang sangat tinggi. Mereka sangat baik hati dan ramah terhadap semua orang, apalagi terhadap pendatang.
Lanjut, saya sangat takjub melihat murid saya dengan mudahnya menangkap udang di air. Katanya mereka bisa melihat udang dari cahaya yang terpantul di mata udang, kalau saya bingung karena banyak pantulan cahaya di dalam air.
Saya mencoba untuk menangkap udang sendiri, dan itu sangat susah, udangnya menghindar dengan begitu cepatnya. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya saya bisa mendapat 2 ekor udang saja. Saya benar-benar salut buat murid-murid saya yang sangat lincah menangkap udang dan kepiting. Kalau menangkap kepiting saya tidak berani karena takut capitnya, kata murid saya capit kepiting bisa mematahkan jari tangan.
Sambil mencari kepiting dan udang, saya cek hp saya, siapa tahu ada sinyal. Setelah saya liat-liat ternyata hanya tertulis ”Tidak ada jaringan”, aduh kecewa betul. ”Mana, katanya ada sinyal?” gerutuku pada murid-murid. Mursalin menjawab ”Pak, emang ada sinyal tapi itu jarang-jarang”. ”Oh gitu ya” jawabku agak kesal. Info lagi, hp di sana itu biasanya hanya buat ”mp3-an”, foto-foto atau mendengarkan siaran radio RRI Makassar. Memang susah kalau urusan sinyal, tapi saya suka daerah pantainya. Biasanya untuk mendapatkan sinyal, saya harus ke Kecamatan Reo dahulu. Transportasi menuju kecamatan dapat di jangkau dengan naik ojek, atau naik ”oto kol” yang berangkatnya hanya satu kali dalam sehari. Oto kol adalah sebuah truk yang dimodifikasi menjadi angkutan umum, dengan menempatkan beberapa papan di dalamnya untuk tempat duduk, dan di atasnya di tutupi dengan papan-papan. Oto kol tidak hanya membawa penumpang, tetapi juga membawa barang-barang penumpang seperti hasil kebun, babi, dan sapi. Jadwal pemberangkatan ”oto tol” adalah sekitar jam 07.30-08.30, dan itu hanya sekali jalan, pulang dari kecamatan menuju desa biasanya jam 12.45 harus sudah di atas oto. Oto kol harus melewati jalan aspal naik-turun-belok yang keadaan jalannya luar biasa jelek. Oto kol sampai kecamatan biasanya sekitar pukul 10.30, dan pulang pukul 12.30, jadi saya di kecamatan hanya sekitar 3 jam saja. Mengingat waktu yang hanya sangat sebentar, saya harus memanfaatkan betul waktu yang ada. Biasanya saya mengatur jadwal, pertama adalah menghubungi keluarga dan teman di Jawa, kemudian berbelanja sesuai yang sudah saya buatkan ”list”, kebanyakan adalah sayuran buat satu minggu.
Saya lebih sering untuk pulang naik ojek, karena waktu di kecamatan menjadi lebih leluasa tanpa tekanan ketinggalan ”oto kol”. Kalau di analisis dari segi tarif memang beda jauh antara ”oto kol” dengan ojek. Tarif naik ojek adalah Rp 25.000,00 sekali antar, sedangkan kalau naik ”oto kol” hanya Rp 15.000,00 sudah termasuk pulang-pergi.
Info: pasar di kecamatan Reo, penjualnya sebagian besar adalah dari Jawa, seperti dari Kudus, Salatiga, Solo, dan Jepara. Mereka biasanya berjualan pakaian, perabot rumah tangga, warung makan dan bakso. Saya juga kadang heran, kenapa mereka bisa berjualan sampai ke NTT, salutlah. Penguasa pasar lainnya adalah masyarkat dari Cina, yang hampir menguasai seluruh hasil perkebunan suku Manggarai. Suku asli Manggarai juga ada beberapa yang berjualan, biasanya mereka berjualan ikan segar, ikan asin dan hasil kebun.
***
Saya lanjutkan kisah mencari udang dan kepitingnya.
Setelah melihat jam di hp menunjukkan pukul 22.15, saya mengajak murid-murid saya untuk pulang. Lumayanlah hasil yang kami peroleh. Tanyaku sesampainya di teras rumah,”Terus cara masaknya gimana?”. Mursalin menjawab ”Di goreng, atau nggak ya di bakar”. Saya minta pendapat dari Ali dan Ahmad, mereka memberi ide kalau kepitingnya di bakar, dan udangnya di goreng.
Akhirnya mereka ada yang membuat tungku api di luar rumah, sementara saya yang bersih-bersih kepiting dan udang. Setelah api menyala cukup besar, Ali dan Ahmad memasukan kepiting itu dalam kobaran api.
Aroma kepiting bakar begitu menggoda dan membuatku tanpa sadar menelan air liur. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya kepiting bakarpun matang. Syukurlah masing-masing kebagian satu ekor, kami makan dengan lahapnya. Nikmat sekali rasanya, makan hasil tangkapan murid saya.
Kepiting bakar habis, dan saatnya untuk menggoreng udang. Udang yang sudah saya bersihkan saya taburi garam dan sedikit bumbu masak. Saat itu saya yang memasak, murid saya hanya jaga lentera (maklumlah, listrik jam segitu sudah mati). Akhirnya udang goreng matang, dan siap di makan. Saat itu saya masih ingat ucapan Ali ”Ini terlalu asin, Pak”, saya menjawab dengan entengnya ”Udah, makan ajalah”.
Malam itu kami merasa sudah kenyang dan kelelahan, segera saat itu saya mengajak untuk cepat-cepat cuci tangan dan kaki, dan istirahat. Akhirnya saya tidur dengan Mursalain, sementara Ahmad tidur dengan Ali. Sungguh, secuil kenangan itu sangat manis, dan terharu kalau mengingatnya.
Info:
Selasa, 10 April 2012.
Setelah seharian beraktivitas di sekolah, sore hari badan terasa sedikit pegal-pegal. Seperti biasanya, sore hari ada beberapa siswa saya yang datang ke kontrakan saya. Saya senang jika mereka mau main ke kontrakan saya. Saya agak merasa bebas di kontrakan tersebut karena saya mengontrak sendiri tanpa ada yang punya rumah, hanya ada beberapa siswa yang menemani saya. Terkadang mereka belajar, sekadar main, atau juga menginap di tempat saya dan ada yang cuma mengajak saya mengobrol.
Topik pembicaraan yang biasa kami perbincangkan paling sering adalah tentang aktivitas di sekolah, terutama cerita-cerita lucu yang terjadi di sekolah. Saya kadang menjadi moderator, agar antar siswa tidak terjadi keributan dan mau menang sendiri. Menurut pengamatan saya, murid saya cenderung memiliki emosi yang tinggi. Namun demikian, kami sering tertawa lepas dengan cerita-cerita yang mereka bawakan dan dengan cara mereka yang masih anak-anak.
Beberapa topik telah kami bahas, kemudian ada seorang siswa namanya Mursalin (siswa kelas 5) mengajukan sebuah ide menarik. Dia berkata ”Pak, bagaimana kalau kita nyari udang dan kepiting di pantai?”, (tempat kontrakan saya memang hanya sekitar 10 meter dari bibir pantai). Kemudian saya jawab ”Emang sekarang lagi pasang naik atau surut?”. Kemudian Ahmad (siswa kelas 6) menjawab ”Kayaknya lagi pasang surut, Pak”. ”Bagaimana ya, badan saya juga lagi capek” (gerutuku dalam hati). ”Ayolah Pak, belum malam juga”, kata Ali (siswa kelas 6). Akhirnya saya memutuskan untuk mencai udang dan kepiting, ”Ya sudah, ayo”.
Segala peralatan kami persiapkan seperti ember, senter, dan sebuah obor yang kami buat dari botol bekas sirup. Agak takut juga pegang obor itu, takut meledak.
Setelah semua peralatan siap, akhirnya kami pergi menuju pantai, kami berempat menjadi satu kelompok. Tak lupa saya juga membawa hp, berharap ada sinyal di sekitar pantai yang surut. Perlu diketahui tempat saya mengajar tidak ada sinyal telepon, listrik juga menyala hanya dari jam 18.00 – 22.00, itu juga pakai genset dan kadang juga sering rusak. Menurut murid-murid saya, di daerah pantai yang surut kadang ada sinyal. Oleh karena itu saya membawa hp.
Hanya butuh waktu sekitar 2 menit, saya sudah sampai di pantai. Sungguh menakjubkan pemandangan waktu itu, banyak nyala obor yang ada di pantai, mereka juga sedang mencari kepiting dan udang. Cahaya dari jutaan bintang juga menambah indahnya suasana malam saat itu.
Tanpa tunggu lama lagi, murid-murid saya langsung aktif mencari udang dan kepiting. Saat itu posisi air laut adalah setinggi mata kaki, katanya posisi seperti itu sedang banyak-banyaknya kepiting dan udang.
Tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara anak kecil ”Pak, nyari ”Use” juga ya?, ku jawab dengan reflek ”Iya”. Perlu diketahui ”Use” adalah nama lain dari udang. Tempat kontrakan saya memang unik, di sana ada 3 suku sekaligus yaitu suku Bima, suku Bugis, dan suku Manggarai. Memang unik sekali, mereka hanya saling berjarak sekitar 50 meter, tetapi sudah ganti suku lain. Tetapi mayoritas adalah suku asli yaitu Manggarai. Bahasa yang saya gunakan pada mereka adalah bahasa Indonesia, terkadang saya juga belajar sedikit bahasa mereka. Sering saya berpikir, bagaimana kalau tidak ada bahasa Indonesia, pasti saya sudah kebingungan. Saya sangat bersyukur mereka sudah bisa bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Sedikit info juga, antar suku di sana sangat rukun dan memiliki rasa toleransi yang sangat tinggi. Mereka sangat baik hati dan ramah terhadap semua orang, apalagi terhadap pendatang.
Lanjut, saya sangat takjub melihat murid saya dengan mudahnya menangkap udang di air. Katanya mereka bisa melihat udang dari cahaya yang terpantul di mata udang, kalau saya bingung karena banyak pantulan cahaya di dalam air.
Saya mencoba untuk menangkap udang sendiri, dan itu sangat susah, udangnya menghindar dengan begitu cepatnya. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya saya bisa mendapat 2 ekor udang saja. Saya benar-benar salut buat murid-murid saya yang sangat lincah menangkap udang dan kepiting. Kalau menangkap kepiting saya tidak berani karena takut capitnya, kata murid saya capit kepiting bisa mematahkan jari tangan.
Sambil mencari kepiting dan udang, saya cek hp saya, siapa tahu ada sinyal. Setelah saya liat-liat ternyata hanya tertulis ”Tidak ada jaringan”, aduh kecewa betul. ”Mana, katanya ada sinyal?” gerutuku pada murid-murid. Mursalin menjawab ”Pak, emang ada sinyal tapi itu jarang-jarang”. ”Oh gitu ya” jawabku agak kesal. Info lagi, hp di sana itu biasanya hanya buat ”mp3-an”, foto-foto atau mendengarkan siaran radio RRI Makassar. Memang susah kalau urusan sinyal, tapi saya suka daerah pantainya. Biasanya untuk mendapatkan sinyal, saya harus ke Kecamatan Reo dahulu. Transportasi menuju kecamatan dapat di jangkau dengan naik ojek, atau naik ”oto kol” yang berangkatnya hanya satu kali dalam sehari. Oto kol adalah sebuah truk yang dimodifikasi menjadi angkutan umum, dengan menempatkan beberapa papan di dalamnya untuk tempat duduk, dan di atasnya di tutupi dengan papan-papan. Oto kol tidak hanya membawa penumpang, tetapi juga membawa barang-barang penumpang seperti hasil kebun, babi, dan sapi. Jadwal pemberangkatan ”oto tol” adalah sekitar jam 07.30-08.30, dan itu hanya sekali jalan, pulang dari kecamatan menuju desa biasanya jam 12.45 harus sudah di atas oto. Oto kol harus melewati jalan aspal naik-turun-belok yang keadaan jalannya luar biasa jelek. Oto kol sampai kecamatan biasanya sekitar pukul 10.30, dan pulang pukul 12.30, jadi saya di kecamatan hanya sekitar 3 jam saja. Mengingat waktu yang hanya sangat sebentar, saya harus memanfaatkan betul waktu yang ada. Biasanya saya mengatur jadwal, pertama adalah menghubungi keluarga dan teman di Jawa, kemudian berbelanja sesuai yang sudah saya buatkan ”list”, kebanyakan adalah sayuran buat satu minggu.
Saya lebih sering untuk pulang naik ojek, karena waktu di kecamatan menjadi lebih leluasa tanpa tekanan ketinggalan ”oto kol”. Kalau di analisis dari segi tarif memang beda jauh antara ”oto kol” dengan ojek. Tarif naik ojek adalah Rp 25.000,00 sekali antar, sedangkan kalau naik ”oto kol” hanya Rp 15.000,00 sudah termasuk pulang-pergi.
Info: pasar di kecamatan Reo, penjualnya sebagian besar adalah dari Jawa, seperti dari Kudus, Salatiga, Solo, dan Jepara. Mereka biasanya berjualan pakaian, perabot rumah tangga, warung makan dan bakso. Saya juga kadang heran, kenapa mereka bisa berjualan sampai ke NTT, salutlah. Penguasa pasar lainnya adalah masyarkat dari Cina, yang hampir menguasai seluruh hasil perkebunan suku Manggarai. Suku asli Manggarai juga ada beberapa yang berjualan, biasanya mereka berjualan ikan segar, ikan asin dan hasil kebun.
***
Saya lanjutkan kisah mencari udang dan kepitingnya.
Setelah melihat jam di hp menunjukkan pukul 22.15, saya mengajak murid-murid saya untuk pulang. Lumayanlah hasil yang kami peroleh. Tanyaku sesampainya di teras rumah,”Terus cara masaknya gimana?”. Mursalin menjawab ”Di goreng, atau nggak ya di bakar”. Saya minta pendapat dari Ali dan Ahmad, mereka memberi ide kalau kepitingnya di bakar, dan udangnya di goreng.
Akhirnya mereka ada yang membuat tungku api di luar rumah, sementara saya yang bersih-bersih kepiting dan udang. Setelah api menyala cukup besar, Ali dan Ahmad memasukan kepiting itu dalam kobaran api.
Aroma kepiting bakar begitu menggoda dan membuatku tanpa sadar menelan air liur. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya kepiting bakarpun matang. Syukurlah masing-masing kebagian satu ekor, kami makan dengan lahapnya. Nikmat sekali rasanya, makan hasil tangkapan murid saya.
Kepiting bakar habis, dan saatnya untuk menggoreng udang. Udang yang sudah saya bersihkan saya taburi garam dan sedikit bumbu masak. Saat itu saya yang memasak, murid saya hanya jaga lentera (maklumlah, listrik jam segitu sudah mati). Akhirnya udang goreng matang, dan siap di makan. Saat itu saya masih ingat ucapan Ali ”Ini terlalu asin, Pak”, saya menjawab dengan entengnya ”Udah, makan ajalah”.
Malam itu kami merasa sudah kenyang dan kelelahan, segera saat itu saya mengajak untuk cepat-cepat cuci tangan dan kaki, dan istirahat. Akhirnya saya tidur dengan Mursalain, sementara Ahmad tidur dengan Ali. Sungguh, secuil kenangan itu sangat manis, dan terharu kalau mengingatnya.
Info:
- Sekarang Ahmad dan Ali sudah bersekolah di SMP N 3 Reo, sementara Mursalin sudah kelas 6.
- Jalan yang dari arah Kecamatan Reo menuju desa Ojang sedang masa peng-aspalan, semoga sudah selesai, sehingga transportasi menjadi lancar.
- Sekolah tempat saya mengajar bernama SD Negeri Ojang. Sekolah ini di kepalai oleh Bapak Yonas Caar, A.Ma, Pd. Jumlah guru negeri 3 (termasuk kepsek), dan 3 guru honorer. Jumlah ruang kelas ada 5 (lima), kalas 1 dan 2 bergantian masuknya.
Comments
Post a Comment
Thanx for comment